Jumat, 22 Agustus 2014

KOTA "AMOY"

Woke...
Terakhir saya update blog ini setahun yang lalu. Yeeaahh... lama banget. Dan baru mulai nulis lagi baru2 sekarang ini. Lumayan lamaaaaa.... Kangen? Pastinya.

Diantara banyak alasan kenapa saya lama ga update blog ini karna saya sedang dalam kondisi galau. Galau situasi dan kondisi, alias mengurus kepindahan domisili. Well, urusan tetek bengek birokrasi yang ribet bikin ide melayang hanya diawang2 berbulan2.
Baiklah, biar lebih jelas, saya cerita dikit deh. Saat ini saya berdomisili di kota Pontianak. Kota garis khatulistiwa Indonesia. Masih dalam area Kalimantan Barat sih. Alasannya kenapa? Biar hanya saya dan Tuhan aja ya yang tau hehe. Kota polusi yang sebenernya bikin saya kurang betah. Tapi yaaa mau gimana, demi mencari segenggam emas dan sebongkah berlian, saya mesti betah sodaraan sama kota ini hahaha

Dan yang ingin saya ceritain bukan kota Pontianak nya. Tapi kota Singkawang. Sebuah Kabupaten lain di Kalimantan Barat. Saya ditemani  teman2 motret saya di Borneo Photography (www.borneophotography.org). Menuju Singkawang kami tempuh selama 3 jam dari kota Pontianak. Singkawang itu biasa disebut orang juga kota amoy, karna penduduknya hampir 90% orang cina.

Singkawang punya beberapa tempat wisata. Salah satu yang saya datangi waktu itu adalah danau biru. Kenapa namanya danau biru? Karna airnya memang berwarna biru hehe. Menurut info yang saya dapat, air ini ga boleh dipake buat mandi, karna bisa menyebabkan kulit jadi gatal2. Berikut beberapa jepretan danau biru yang bisa saya abadikan:







Saya penggemar rujak. Dan dari sekian rujak yang pernah saya coba, singkawang juaranya. Rujak Thai Pu Ji. Tempatnya kecil. Tapi banyak yang datang ke Singkawang hanya untuk menyicipi rujak ini. Mesti coba deehh... rasanyooo maknyuuuuuuuuussssssss.....




Setelah dari danau biru dan menikmati beberapa kuliner kota Singkawang, kami pun memutuskan untuk berkeliling2 sejenak menyaksikan kehidupan malam kota Singkawang. Berikut beberapa foto yang berhasil saya abadikan dikala malam.


Masjid Raya Singkawang, Kal-Bar | 2011 

Vihara Tri Dharma Bumi Raya Singkawang, Kal-Bar | 2011


Hmmmm.... pengalaman yang cukup menyenangkan! Selamat menikmati kota Singkawang!



Kamis, 21 Agustus 2014

PULAU SAWI

Pulau yang kabarnya masih virgin ini membuat saya memasukkannya dalam daftar tempat yang wajib saya kunjungi. Dan setelah menunggu sekian lama, lalu beberapa kali rencana yang nyaris batal, akhirnya saya pergi juga mengunjungi pulau ini.

Pulau ini dinamakan Pulau Sawi. Saya pikir orang-orang sekitar saja yang iseng dengan memberikan nama itu. Tapi ternyata tidak, dinamakan Pulau Sawi karna memang dulu pulau itu tempat bercocok tanamnya sawi. Menurut informasi yang saya dapat, Pulau Sawi pada saat itu menjadi tempat produksi sawi terbesar di daerah tersebut. Bahkan sampai mengirim hasil panen mereka ke luar daerah. Namun karna seiring dengan perkembangan jaman, masarakat di Pulau ini mulai kehilangan pasar. Produksi sayur sawi mudah didapat dimana saja. Hingga pada akhirnya masyarakat Pulau Sawi tidak lagi bercocok tanam sawi, sehingga mereka (penduduk Pulau Sawi) mengalihkan matapencaharian mereka.

Pulau ini dihuni kurang lebih tiga puluh kepala keluarga. Rata-rata penduduk bermatapencaharian sebagai nelayan. Ada juga beberapa yang mengolah kelapa menjadi minyak goreng. Ntah dari tahun berapa mereka menghuni pulau ini. Yang jelas, tidak seperti kota kebanyakan yang penduduknya terus bertambah dari tahun ke tahun. Banyak generasi baru pulau ini yang pindah merantau ke kota dan memilih untuk menetap disana. Yaa… Nggak banyak sih info yang saya dapat tentang Pulau Sawi. Saya terlalu terbuai dengan pulau ini. Harap maklum ya, hehehe. Kalau mau tau lebih banyak, saran saya langsung datang saja ke lokasi.

Petualangan ini tentunya tidak saya lakukan sendiri. Bersama temen-temen Ketapang Photographer Community (KPC), perjalanan kami tempuh dalam waktu dua jam dari kota Ketapang menuju desa Sei Tengar. Kami merasa beruntung hari itu, karna cuaca panas mengiringi perjalanan kami, walaupun paginya hujan deras sempat membasahi kota beberapa jam.

Sei Tengar adalah sebuah Desa kecil di kecamatan Kendawangan, tempat singgah menuju Pulau Sawi. Dengan membawa perbekalan makanan yang cukup, kami menyebrangi laut menuju pulau sawi menggunakan kapal kecil. Kapal ini kami sewa seharga lima ratus ribu rupiah. Mmmmm…. Cukup terjangkau menurut saya. Tidak cukup lama, kurang lebih 45 menit kapal kami diombang ambing ombak laut. Sekali lagi, it’s my lucky day, ombak tidak besar hari itu. Dan benar ternyata yang dikatakan beberapa teman saya yang sudah pernah mengunjungi pulau ini, baru lima belas menit perjalanan, kami sudah disuguhkan nuansa laut yang berwana biru kehijauan bersih. Laut yang sangat jernih dan tenang ini, membuat saya gemes sendiri dan langsung ingin nyebur untuk berenang.

Finally, saya tiba juga di Pulau impian. Baru saja kaki ini berpijak didermaga pulau, rasa takjub yang tadinya takjub, kini bertambah jadi lebih takjub. Terumbu karang dan ikan-ikan masih bisa terlihat walau kedalaman laut hampir mencapai dua meter. Dan pemandangan seperti ini bisa saya temukan tidak perlu jauh-jauh menyebrang pulau Kalimantan. Kini sudah dapat saya jumpai di kota kelahiran saya!






Foto-foto diatas adalah suasana dermaga di Pulau sawi. Cuaca cerah membuat langit membiru dengan sempurna. Gugusan awan yang menawan tak saya lewatkan begitu saja untuk mengabadikannya.

Karna kami sampai sudah menjelang sore, tidak selang berapa lama sunsetpun tiba. Dan tentu saja, moment ini tidak akan terlewatkan begitu saja bagi ‘sunset and silhouette lovers’ untuk mengabadikannya dalam sebuah gambar. Untuk foto sunset, saya tidak hanya manampilkan jepretan saya. Jepretan sahabat saya yang satu ini sangat sayang sekali untuk tidak ditampilakan dalam cerita ini, karna saya termasuk penggemar berat hasil jepretan beliau, terutama jepretan ‘sunset and silhouette’ nya. Thanks to Mr. Dedeng Ddp for the graet inspiration.



Malam harinya, kami menghabiskan malam dengan bersantai menikmati langit dan taburan bintangnya. Saya menamakannya dengan “tidur beratapkan bintang”. Terang bulan yang menawan semakin menambah keistimewaan suguhan alam malam di Pulau Sawi. Sayangnya tak satu orang pun dari kami mempunyai camera telescope. Yaitu camera yang khusus memotret bintang. Sungguh benar-benar pemandangan yang menakjubkan.

Walau sedikit kurang tidur, tak mengendurkan semangat kami untuk melihat sunrise Pulau Sawi. Kamipun menyiapkan diri dan mencari posisi paling tepat (menurut versi kami) untuk mengabadikan sunrise dalam jepretan camera.




Dan untuk yang ketiga kalinya lagi, it’s the truly my lucky day. Beberapa kali saya menikmati sunrise, saya belum pernah menemukan sunrise seindah di Pulau Sawi hari itu. Langit yang cerah, sinar matahari yang elok, ditambah suasana Pulau Sawi yang segar dipagi hari, sungguh perpaduan yang istimewa bagi pecinta sunrise.
Setelah puas mengambil beberapa jeprean suasana pagi di Pulau sawi, air yang jernih dan segar sungguh sangat menggoda saya untuk segera menceburkan diri. Huuuaaaaa…… Bbrrrrr,.. Adeeemmm rasanya….. Seperti air kolam renang. Bedanya cuma ada rasa asinnya hahahaha

Siang harinya, kami diajak untuk mengunjungi Pulau tetangga yang terletak di sebelah Pulau Sawi. Dan lagi-lagi saya semakin takjub. Pulau ini memang memiliki sejuta pesona. Kali ini kapal kami dikemudikan oleh anak-anak Pulau Sawi. Namanya GF dan Surya (mirip merek rokok ya, hihihihihi). Karna sering beradu dengan matahari, membuat kulit mereka berwarna hitam pekat. Bulu badan dan rambut berwarna kekuningan, cukup eksotik untuk diabadikan. Hehehe. Tapi, oleh karna air yang tidak begitu dalam, kapal kami tidak bisa bermuara ditepian pantai pulau. Jadi ya beginilah, harus melewati laut dengan berjalan kaki basah-basahan. Saya sempat berfikir, jangan-jangan anak-anak ini sengaja mengerjai kami hahaha






Beberapa kali saya sempat mengikuti kegiatan anak-anak pulau sawi dalam keseharian mereka. Suasana laut yang panas serta angin yang kencang membuat mereka kebal sama penyakit. Saya sempat berbincang-bincang dengan mereka, sambil sesekali menjepret ekspresi mereka.
“Dek, nggak pernah sakit ya?”, tanya saya.
“Nggak pernah, kak.”
“Nggak pernah kena Malaria?.” Tanya saya kaget.
“Apa tuh Malaria???.” Jawabnya nggak kalah kaget.
Saya menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri, anak-anak ini tidur di malam hari dengan diterpa angin pantai. Terkadang tidur hanya memakai celana pendek, tanpa baju tanpa selimut. Saya membayangkan, kalau saja anak-anak di daerah kota tidurnya kayak gitu, saya pastikan besoknya langsung daftar nomer antrian ke dokter anak. Huuffhh… Jangankan anak-anak, kami yang sudah berumur diatas 20 tahun masih ada tuh yang bangun pagi-pagi langsung masuk angin. Beberapa moment anak-anak Pulau Sawi yang saya abadikan dalam jepretan.



Dua hari satu malam rasanya belum cukup untuk menikmati pesona pulau ini. Dan saya berjanji pada diri sendiri akan kembali lagi ke Pulau ini nanti. Bersama sahabat-sahabat yang menyenangkan tentunya. Berbagi keindahan, berbagi kebahagiaan bersama indahnya Pulau Sawi.

Inilah Pulau Sawi dengan sejuta pesonanya. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Semoga apa yang saya suguhkan ini bisa menambah inspirasi wisata anda. Salam jepret!


KETIKA SANG PENCINTA "PERGI"

Suatu ketiaka saya pernah terlibat obrolan ringan dengan seseorang. Kalimat pertama yang saya lontarkan cukup sederhana,
Saya                : “Kamu pernah kehilangan seseorang?”.
Seseorang        : “Pernah”.
Saya                :  “Rasanya kayak apa?”
Seseorang        : “Seperti kehilangan separuh hidup”
Saya                : Speechless….

Ntah mungkin ia tersenyum tipis atau mungkin wajahnya tanpa ekspresi, saya tidak tau pasti. Karena obrolan kami lakukan via layanan messanger. Jawabannya terus mengiang dalam ingatan saya. Dan itu terbawa hingga sekarang.

Ada sebuah kejadian yang membuat saya semakin sadar, bahwa kehilangan itu memang begitu sulit untuk diterima dengan seketika. Pasti ada penolakan diawal.
Beberapa waktu lalu saya menghabiskan weekend bersama sahabat-sahabat saya. Kami sengaja memilih pantai untuk menikmati weekend waktu itu. Seperti biasa, acara kumpul bareng selalu diwarnai canda tawa, dan hunting makanan enak pastinya. Sesampai diloksi kami mencari mesjid terdekat untuk sholat dzuhur sebentar. Ntah bagaimana kejadiannya, saya merasa kehilangan handphone setelah sholat. Cukup aneh memang kejadiannya. Karena hanya berselang beberapa menit saja, handphone itu raib ntah kemana. Lucunya, sementara sahabat-sahabat saya memikirkan kronologi kejadian yang tidak masuk akal itu, pikiran saya malah menerawang pada kalimat obrolan saya dengan seseorang beberapa waktu lalu itu. Kehilangan handphone memang membuat saya agak sedikit kesal. Wajar ya, namanya juga kita kehilangan barang. Apalagi barang itu yang selalu menemani aktifitas sehari-hari. Nah, bagaimana halnya jika kondisi yang sama terjadi tetapi pada seseorang yang kita cintai. Menghilang, tiba-tiba. Saya jadi berfikir serius waktu itu. Memabayangkan sedikit dan merasakan. Sungguh, rasa sakitnya akan lebih dari sekedar kehilangan barang kesayangan tentunya.

Ya… mungkin benar katanya, kehilangan seseorang yang kita cintai, “seperti kehilangan separuh hidup” kita. Dan seketika pula, hidup akan menjadi tidak bergairah. Serba malas mau ini-itu. Hambar. Kosong. Hampa. Nelangsa seketika.
Teringat kembali pembicaraan kami waktu itu, saya kembali bertanya,
            Saya                : “Berapa lama ‘rasa itu’ bisa hilang?”
            Seseorang        : “Dua tahunan.”
           
Wow… kebayang nggak sih dua tahun hidup dalam kenelangsaan??? Serius saya tak dapat membayangkannya. Apakah anda pernah merasakan? Atau anda baru saja mengalaminya?. Terus terang, saya pribadi belum pernah.

Tema ini menarik perhatian saya. Semenjak pembicaraan saya dengan seseorang tersebut, banyak pertanyaan yang berjubel dikepala saya menuntut untuk dijawab. Bagaimana mengatasi hati yang nelangsa karena kehilangan? Bagaiman kehidupan setelahnya? Haruskah kita terus menerus terperangkap dalam keterpurukan? Andaikata ‘Kehilangan’ itu terjadi pada saya, haruskah saya juga akan nelangsa berkepanjangan?.
Iseng, saya melakukan riset kecil untuk menemukan jawabannya. Diskusi dengan beberapa sahabat, menonton film, membaca beberapa buku, novel –yang pasti berkaitan dengan tema tersebut-, dan kejadian terakhir (kehilangan handphone) membuat saya sepenuhnya aware bagaimana seharusnya menyikapi kehilangan.

Dan satu kesimpulan yang saya ambil yaitu, cara terbaik dalam menyikapi ‘kehilangan’ adalah dengan merelakannya.
Satu hal terkadang yang membuat kita begitu terpukul saat menghadapi kehilangan adalah kita lupa untuk bersyukur. Lupa bahwa kita telah dianugerahi cinta, dan lupa untuk menghargai cinta itu sendiri. Lupa bersyukur bahwa kita pernah merasakan mencintai seseorang. Pernah merasakan rindu, marah, sedih, sayang, kesal, cemburu. Kita telah lupa bagaimana kita mendapatkan cinta itu dan berjuang untuknya. Sehingga kehilangan itu yang menyadarkan, bahwa betapa berartinya seseorang itu dalam hidup kita, dan ternyata kita memang benar-benar  mencintainya, dan semakin mencintainya.
Sulit? Tentu saja. Tidak mudah untuk melewati itu semua. Tetapi semua akan menjadi mudah jika kita mau belajar untuk mensyukurinya. Nikmatilah semua rasa yang ada, rasa sakitnya, semakin mencintainya, lalu kemudian tiba-tiba merindukannya, mengenang senyumnya, mengenang kebersamaan dengannya, semua akan terasa lebih nikmat jika kita sudah merelakannya...

Foto berikut ini terinspirasi dari rasa kehilangan itu sendiri. Saya abadikan dari berbagai moment.

 Pangkalanbun, Kal-Teng | Oct 2011


 Ibu-ibu tukan sapu kota. Pangkalanbun, Kal-Teng | Oct 2011

 Pangkalanbun, Kal-Teng | Oct 2011

Pangkalanbun, Kal-Teng | Oct 2011

Tulisan yang sederhana ini tidak ada maksud untuk mengajari. Setulus hati untuk mengingatkan bagi siapa saja yang lupa. Dan suatu saat nanti, ketika saya juga lupa, saya berharap siapa saja yang membaca tulisan ini bisa mengingatkan saya kembali.
Selamat menikmati cinta. Sungguh, mencintai itu menghangatkan jiwa….

“Even though the Lovers be gone, Love shall not.”
Jessica Huawei
(Novelis)


Tulisan ini didedikasikan untuk:

Sahabat-sahabat saya yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Ayah, Ibu, sahabat terkasih, Kakak, Adik, serta pasangan hidup. Semoga cinta kalian tak pernah padam. Terus bersinar seperti matahari yang selalu menghangatkan bumi.